Oleh: Ainun Istiqomah Ro’uf
Kata orang, Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang penuh keberkahan. Iya, memang benar. Tetapi jika orang yang kita bantu itu sudah meninggalkan kita, apakah kita tetap mendapatkan keberkahan? Apakah kita lelah menolong orang setelah kejadian ini?. Yap, kisahku ini bisa dibilang kehilangan yang cukup berat bagiku. Oh iya aku lupa memperkenalkan diriku, namaku Risyana. Di awal Bulan Ramadhan ini aku harus mempersiapkan diriku dalam segi jasmani maupun rohani. Ku mulai dengan sahur bersama orang tua dan adik – adikku. Setelah itu, melaksanakan sholat subuh dan tidur untuk sekolah nanti.
Paginya, aku bangun tepat pada pukul 05.30 dan merapikan tempat tidur yang sedikit berantakan karena posisi tidurku yang berubah – ubah. Mandi dan mengganti pakaian putih abu – abu. Yap, Aku sudah menginjak kelas dua SMA di salah satu sekolah negeri di Sidoarjo. Jarak rumahku sampai sekolah kurang lebih tiga puluh kilometer. Cukup jauh sih, tetapi Alhamdulillah aku sudah terbiasa berbolak balik dari rumah ke sekolah. Di saat menjelang kelas dua, aku harus menghadapi banyaknya tugas.
Sejujurnya, aku dari dulu tidak suka pelajaran Matematika, fisika, dan kimia. Malam ini tugasku ini tidak ada fisika dan kimia, tetapi adanya tugas matematika. Akh.. kenapa harus pelajaran ini. Sehingga aku mengerjakan pelajaran lain selain Matematika, Biologi dan Bahasa Indonesia. Kalau ada tugas dari ketiga yang tidak kusukai, biasanya lihat tugas punya teman besoknya hehe.. jangan ditiru ya. Keesokan harinya di sekolah, aku biasanya menghabiskan waktu membaca di perpustakaan saat istirahat atau waktu jam kosong, biasanya teman – teman menyebutnya jamkos.
Ku lihat jam yang melingkari tanganku, ah sudah jam 11.45. Sudah waktunya sholat dzuhur. Aku kembali ke kelas dan mengambil mukena dari tas. Ku berjalan menuju masjid sekolah yang belum selesai dibangun. Masjid yang memiliki 2 tingkat ini sudah ada aturannya, salah satunya tempat untuk jama’ah laki – laki dan perempuan. Jama’ah laki – laki di lantai bawah sedangkan perempuan di lantai atas. Kebanyakan yang melanggar aturan tersebut itu perempuan, mereka kalau bosen menaiki tangga pasti sholatnya di bawah.
Setiap ada yang melanggar, guru agama pun mengingatkan mereka untuk sholat di lantai dua. Sudah biasa aku lihatnya pikirku dengan wajah heran. Aku menaiki tangga, menaruh mukena di karpet yang disediakan, berwudhu, dan memakai mukena. Aku duduk menunggu imam yang belum datang. Salah satu jama’ah menyanyikan sholawat nabi sambil menunggu imam. Akupun menirukan sholawat nabi tersebut. Dan akhirnya imamnya datang, guru bimbingan konseling, Pak Muzayyin. Aku langsung berdiri dan melaksanakan sholat dzuhur berjama’ah.
Setelah selesai sholat dzuhur, aku kembali ke kelas. Waktu istirahat sudah selesai, para guru pun keluar dari ruang guru dan berjalan berhamburan menuju kelas yang sesuai jadwal mereka mengajar. Di kelasku didatangi guru biologi, Bu Siti Nurhayati atau biasa dipanggil Bu Nur. Dan kami sekelas memperhatikan pelajaran beliau.
Sepulang sekolah, aku bertemu dengan ibu yang mengais barang bekas di tempat sampah sambil menggendong anaknya yang masih balita. Aku menghentikan sepeda motorku disamping ibu itu dan menghampirinya.
“Permisi bu, ibu sedang apa? Ini hampir maghrib, bu. Gak menyiapkan makanan untuk berbuka?,” tanyaku sambil membantu menggendong anaknya.
“Iya mbak, saya tahu. Maka dari itu saya melakukan ini untuk dijual dan uangnya untuk beli makan nanti” jawab beliau dengan wajah sedih.
“Baik, saya mengerti. Sementara ini, ibu ikut saya ke rumah saya. Kita berbuka dengan orang tua dan kedua adik saya. Sekarang ibu naik sepeda motor saya,” kataku sambil mengembalikan anaknya dan menaiki sepeda motor.
“Ta-tapi mbak, saya gak enak sama orang tua mbak. Apa gak merepotkan?,” jawab beliau dengan wajah bingung.
“gak merepotkan bu, orang tua saya baik kok. Silakan, bu. Oh iya bu, keranjangnya ibu bawa atau taruh disini saja?.”
“Taruh disini, mbak,” jawab beliau sambil melepaskan keranjang dari punggungnya dan menaruh di samping tempat sampah.
“Ayo, bu. Silakan naik,”
“Iya, mbak. Terima kasih mbak udah mengajak saya berbuka dengan mbak dan orang tua mbak. Semoga di Bulan Ramadhan ini, mbak dan keluarga mbak dapat rezeki, sehat selalu, dan dapat keberkahan dari Allah,” kata beliau sambil mengelus pundakku.
“Amin, terima kasih bu,” jawabku dengan senyum.
Sesampainya di rumahku, aku mengucapkan salam dan mempersilakan beliau masuk ke dalam ruang tamu. Tiba – tiba muncul ibu dan ayah keluar dari kamar mereka dan mereka bingung karena anaknya membawa ibu dan balita yang penuh kegugupan.
“Wa’alaikumsalam, Risya. Ini sudah berbuka lo, tapi.. kenapa kamu bawa ibu dan anaknya ini? Memangnya kamu ada masalah dengannya?,” tanya ibuku yang agak bingung.
“Oh.. tidak, bu. Jangan salahkan anak ibu. Dia malah mengajak saya buka bersama dengan ibu dan bapak,” jawab ibu dengan cepat.
“Benar, bu. Apa yang dikatakan ibu ini benar. Aku gak ada masalah dengan ibu ini. Aku hanya gak tega melihat ibu ini tetap bekerja mencari barang bekas pada waktu mau berbuka tadi itu. Makanya aku mengajaknya makan bareng ibu, ayah, dan kedua adikku, bu. Boleh kan?,” kataku sambil tepukan tangan memohon.
“Boleh, sayang. Masa gak boleh. Justru ibu dan ayah bangga punya anak yang peduli terhadap orang yang membutuhkan. Aduh ini udah kelewat 10 menit, silakan bu,” ibuku mempersilakan ibu dan balita itu ke ruang makan. Sementara itu, ayahku mengatakan sesuatu padaku.
“Nak, awal Bulan Ramadhan saja kamu sudah melakukan kebaikan dengan kepedulianmu dengan ibu itu. Ayah benar – benar bangga padamu, semoga kebaikanmu ini diterima Allah ya, Nak,” doa ayahku sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
“Amin, Yah. Terima kasih” jawabku sambil memeluk ayah. Ayah pun membalas pelukanku.
“Abi! Risya! Buruan berbukanya! Takut keburu sholat terawihnya!” teriak ibuku yang membuat ayah dan aku sendiri kaget.
Akhirnya sekeluarga berbuka bersama, sedangkan adikku yang ketiga sedang bermain dengan anak dari ibu pemulung tersebut. Entah kenapa terasa seperti keluarga besar dan itu membuatku ingin sekali membantu ibu dan balita itu pikirku dengan senang. Setelah berbuka, aku, ibu, ayah, dan ibu pemulung tersebut berkumpul di ruang tamu untuk berbincang – bincang sambil menunggu adzan isya.
“maaf kalau boleh tahu, suami ibu dimana? Kok ibu yang bekerja dan mengurus anak ini?,” tanya ibuku dengan ramah.
“Suami saya sudah meninggal lima hari setelah aku melahirkan anakku. Suamiku mengalami kecelakaan pesawat jatuh pada saat TKI di Filipina,” jawabnya dengan wajah menahan menangis.
“Waduh… maaf, bu. Saya gak bermaksud menyinggung perasaan ibu,” kata ibuku dengan wajah agak panik.
“Gak kok, bu. Saya hanya terbawa suasana kalau membahas suami saya,” kata ibu itu dengan melambaikan tangan dengan cepat.
“Apa ibu punya tempat tinggal?,” tanya ayah bergantian.
“Sebenarnya saya tidak punya tempat tinggal, tapi ada bapak pengurus masjid yang mengizinkan saya untuk tinggal di gudang masjid. Oh iya pak. Saya harus kembali ke masjid, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya untuk buka bersama disini,” kata ibu itu kemudian berdiri dan menggendong anaknya yang sudah bermain dengan adikku.
“Oh iya, bu. Sama – sama, kami sekeluarga senang bisa berbuka bersama dengan ibu,” balas ayahku dengan senyum.
“Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamu’alaikum,” salam ibu lalu meninggalkan mereka.
“Wa’alaikumsalam,” balas salam ibu tersebut.
Setelah mendapatkan dari peristiwa itu, aku dan keluargaku membagi nasi kotak pada anak – anak di salah satu panti asuhan dan panti jompo setiap menjelang maghrib.
Sepuluh hari kemudian, saat pulang sekolah pukul 15.30 sore. Tiba – tiba ada suara dari masjid yang menyampaikan info kepada warga sekitar bahwa ada info duka tentang meninggalnya ibu yang aku bantu sejak sepuluh hari yang lalu. Aku syok ketika mendengar info tersebut dan langsung memanggil ayah dan ibu. Mereka juga tahu info itu dan kami berempat pergi ke sekolah kecuali adikku yang kedua karena ada ekstrakurikuler di sekolah. Sesampainya di masjid, kami menemui pengurus masjid dan menanyakan keberadaan jasad ibu dan anaknya yang ditinggalkan ibunya.
“Bapak, saya mau tanya. almarhumah yang bapak umumin itu sekarang ada dimana ya?,” tanya ayahku yang keringat dan panik.
“Jasadnya sekarang ada di rumah duka dekat sini kok, pak. Kalau boleh tahu, Anda keluarga dari almarhumah ini?.”
“Saya bukan keluarga dari almarhumah ini tapi saya pernah membantunya. Maka dari itu, saya ingin membantu proses pemakamannya.”
“Baik, saya antarkan,” katanya sambil mempersilakan keluargaku dengan ramah.
Sesampainya di rumah duka, ibuku membantu memandikan almarhumah tersebut dengan wajah sedih menahan air mata. Sedangkan aku mengurus adikku yang bungsu dan anak dari almarhumah di tempat lesehan sambil menunggu untuk membaca doa yasin nantinya. Dan juga ayahku dengan baiknya membantu tukang gali kubur untuk menggali liang lahat untuk almarhumah ibu tersebut.
Setelah jenazah dimandikan, jasad almarhumah dibawa ke lesehan untuk mendoakannya, kemudian dibawa ke masjid untuk menyolatkan lalu menguburnya. Pada saat penguburannya, Aku menggendong anak dari almarhumah dan melihat ia menangis melihat ibunya dikubur. Aku hanya bisa memeluknya sambil menggandeng tangan adikku yang bungsu dengan erat. Dengan niat yang muncul dalam diriku, aku ingin merawat anak ini dan menganggap ini sebagai amanah dari almarhumah dan berharap semoga di bulan Ramadhan ini menjadi pengalaman terindah bagiku untuk tidak lelah mambantu orang lain yang kesusahan.